Melihat Kondisi Pengadilan Pajak dalam Kacamata Kristen


Ilustrator : Doc. GMKI Purwokerto
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.
Hal ini serupa dengan cerita dalam Alkitab. Dalam konteks Alkitabiah, Yesus Pernah berkata kepada muridnya “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Matius 22:21). Kalimat itu menjadi terkenal bukan saja sebagai counter attack kepada para Farisi yang berusaha menjebaknya dengan pertanyaan itu, tetapi juga karena Yesus pun menganjurkan murid-muridNya untuk melakukan kewajiban pajaknya terhadap pemerintah Romawi.
Kita mengetahui bahwa pajak merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan kemandirian keuangan negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas dari pungutan pajak itu sendiri. Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara singkat dan tegas, pernyataan tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”[1]
Persoalan etis yang menjadi persoalan adalah berbagai aturan yang termuat dalam UU Pengadilan Pajak tidak mencerminkan semangat konstitusi dan ketundukkan pada integrated justice system. UU Pengadilan Pajak menjadikan institusi Pengadilan Pajak seolah-olah menjadi peradilan tersendiri di luar MA. Hal ini dapat ditelisik dari beberapa ketentuan berikut.
Pertama, Pengadilan pajak adalah pengadilan yang pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Hal ini ditegaskan Pasal 33 dan diperkuat oleh Pasal 77 yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal kata banding dan kasasi. Pasal 80 ayat 2 menjelaskan bahwa sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas sengketa pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Terhadap putusannya tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Dengan kewenangan sebagai pemutus kata akhir dalam sengketa pajak, maka praktis pengadilan ini tidak membutuhkan MA.
Pengaturan yang demikian hanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana MK merupakan satu-satunya lembaga peradilan konstitusi yang putusannya bersifat final dan mengikat. Namun, kewenangan MK tersebut diperoleh dari UUD 1945. MK merupakan bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama MA. Sedangkan pengadilan pajak tidak.
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa UU memposisikan pengadilan ini sebagai badan peradilan yang berdiri sendiri. MA sebagai lembaga peradilan tertinggi dinegeri ini tidak dilibatkan. MA hanya dilibatkan di mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang merupakan upaya hukum luar biasa, bukan upaya hukum biasa dan itupun dengan syarat yang sangat limitatif. Sehingga dengan kata lain, sebenarnya UU ini ingin mengesampingkan peran MA dalam penyelesaian sengketa pajak.
Kedua, hal yang mencerminkan pengadilan ini sebagai institusi yang berdiri sendiri adalah adanya hukum acara yang khusus. Hukum acaranya sebagian besar tidak mengacu pada sistem hukum acara yang ada (KUHAP atau KUHAPerdata). Hal ini berbeda dengan pengadilan khusus lainnya dimana hukum acaranya masih mengacu pada sistem hukum acara yang ada kecuali hanya beberapa ketentuan khusus saja.
Ketiga, rekrutmen hakim pengadilan pajak sangat berbeda dari pengadilan lain. Menteri Keuangan mempunyai peran yang sangat besar. Mayoritas hakim juga berasal dari mantan pejabat Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Sehingga rawan menimbulkan konflik kepentingan dan merusak independensi hakim.
Keempat,Pengadilan Pajak tidak memadai untuk memutus perkara karena tempat dan ruangan sidang yang kurang baik. Selain itu, tiap majelis masing-masing memeriksa 25 berkas yang membuat perkara menjadi tidak fokus hingga putusan pun menjadi terlambat.
Kelima, proses penanganan perkara sengketa pajak di Indonesia berjalan lamban karena setiap perkara harus diselesaikan di pusat. Hal itu, katanya, memperlambat kerja pengadilan pajak.

Kerisahan Kedudukan Pengadilan Pajak

Sudah bukan cerita baru bahwa aparat Pajak kerap berkongkalikong dengan wajib pajak. Praktek ini pula yang diduga dilakukan oleh Gayus, petugas Direktorat Keberatan dan Banding Pajak yang memiliki rekening sekitar Rp 28 miliar. Ia diduga menyalahgunakan posisinya untuk mengutip suap dari wajib pajak yang mengajukan gugatan di pengadilan pajak. Modusnya antara lain dengan melakukan pembelaan yang lemah di depan para hakim pengadilan pajak. 
Kasus ini pelajaran penting bagi Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani memang sudah membentuk Komite Pengawas Pajak pada akhir Maret lalu. Pembentukan komite ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perpajakan.Tapi bukan cuma pengawasan aparat yang perlu ditingkatkan, pengadilan pajak harus pula diperbaiki. 
Seperti yang saya sebutkan diatas, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak merupakan sumber kesimpangsiuran itu. Pembinaan teknis pengadilan ini dilakukan oleh MA. Sementara itu, pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Para hakim diangkat oleh presiden dari daftar nama calon yang diusulkan Menteri Keuangan setelah mendapat persetujuan Ketua MA.Tapi tidak ada kejelasan siapa yang kemudian mengawasi mereka sehari-hari. 
Itulah yang perlu ditata. Dari sisi ketatanegaraan, akan lebih baik jika pengadilan pajak menginduk pada pengadilan umum atau pengadilan tata usaha negara. Di situ bisa dibentuk seksi khusus yang menangani masalah perpajakan. Jadi, seperti jenis pengadilan lainnya, pengadilan pajak berada di bawah atap MA. Pengawasannya hakim pun berada di bawah benteng keadilan ini. Tiada jalan lain, perubahan itu harus dilakukan dengan merevisi UU Pengadilan Pajak. Pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat bisa segera mengusulkannya agar pengadilan ini menjadi lebih independen sekaligus terawasi.Tanpa perubahan ini, pengadilan pajak akan selalu menjadi ladang subur bagi makelar kasus. 


Kita sebagai seorang pengikut Yesus

Mau membayar pajak tapi takut uangnya kemana-mana. Pelanggaran di dalam pengelolaan uang pajak oleh para koruptor, biarlah itu menjadi bagian dari ranah hukum seperti yang sekarang terbongkar habis.  Memang sebuah terbongkarnya kasus Gayus Tambunan dengan uang Rp 25 miliar seolah membenarkan sinyalemen kita selama ini bahwa memang ada banyak ketidakberesan di dalam penanganan pajak di Indonesia. Khususnya pengadilan Pajak. Terbukti pula bahwa aparat penegak hukum ikut bermain di dunia di mana penuh dengan uang melimpah.
Persoalan membayar pajak kepada negara di mana aparaturnya korup atau berpotensi korup adalah sebuah keputusan etis. Pajak memang kewajiban hukum yang harus di taati. Secara normatif, membayarnya bukanlah sebuah pilihan melainkan keharusan yang mengikat warga negara. Tetapi di dalam situasi seperti korupsi merajalela dan aparatur yang rentan terhadap kolusi, pertimbangan etis menjadi sangat kuat pengaruhnya. Salah satunya adalah suara hati. Verkuyl dalam bukunya Etika Kristen (BPK, 2008) mengatakan bahwa suara hati adalah sebuah desakan yang terdapat di dalam batin tiap-tiap manusia untuk menimbang kelakuannya. Ia menuduh kita, menyatakan pendapatnya apabila kita berbuat salah, yang berada lepas dari kehendak kita sendiri. 
Suara hati lebih memposisikan diri sebagai sebuah instansi independen, yang siap mengadili perbuatan dan tindakan kita, tanpa menghiraukan apakah kita setuju atau tidak. Dengan asumsi ini, pengambilan keputusan etis mengenai pajak memang kembali kepada pribadi masing-masing. Membayar pajak dengan utuh, ngemplang dengan melakukan kolusi melalui oknum pajak sehingga membayar lebih sedikit dari yang seharusnya dibayar, atau ngacir dengan berpura-pura ‘nihil’, seperti Verkuyl tegaskan, kembali kepada suara hati sebagai nurani yang tidak pernah bisa berbohong. 
Maka ketika Yesus berhadapan dengan Farisi untuk menjawab, Yesus menarik sebuah garis tegas bahwa pajak memang harus dibayar sekalipun pemahaman akan situasi demi situasi seharusnya mendukung kita untuk tidak atau ragu-ragu melakukan itu. Suara hati adalah sebuah template yang bisa membingkai dan menjadi tempat pengambilan keputusan etis mengenai membayar pajak ditengah situasi yang penuh korup. Jika memang kita taat hukum, sebagaimana warga negara yang baik, maka kita memang tetap harus bayar pajak tanpa peduli uang tersebut dikorupsi oleh oknum-oknum tertentu.  Pertimbangan nurani akan meneguhkan apapun keputusan kita.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly, 2007, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi” , PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta

MaPPI FHUI, “Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak,” , diakses pada 11 April 2014.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ps. 23A.


Penulis
Dewi Nainggolan
Kepala Bidang Akspel GMKI Purwokerto 2014-2015
Mahasiswa Hukum Unsoed





Comments
0 Comments

0 komentar: