Alangkah Lucunya Negeri Ini


Pendidikan itu penting. Karena berpendidikan, maka kita tahu bahwa pendidikan itu tidak penting.
(Sepenggal Dialog Peran Haji Sarbini)


Sinopsis film dimulai dari Pak Makbul  (ayah Muluk), selalu membanggakan anaknya dan meyakinkan pentingnya pendidikan kepada kawan akrabnya sejak dari pesantren bernama Haji Sarbini, yang selalu merasa pendidikan tak terlalu penting . Dalam keseharian mereka topik ini selalu menjadi sajian  utama.
Muluk seorang sarjana manajemen yang sudah dua tahun nganggur memergoki seorang anak ( usia anak smp) sedang melakukan aksinya, dopet terbang dari satu tangan ke tangan lain dengan lihainya menandakan bahwa ada satu kerjasama yang solid. Dengan mata selidik muluk terus mengikuti arus dompet itu mengalir, ketika dompet sudah sampai pada muaranya muluk langsung mencegat anak tersebut. Kenapa kamu mengambil hak orang lain, apakah kamu tidak bisa meminta dengan baik? Tanya muluk. Tanpa beban anak tersebut menjawab, bang saya pencopet bukan pengemis. Sebuah pernyataan keluar dari Muluk saat itu, yaitu Mengapa mencopet, kalau butuh kan tinggal minta saja, si copet yng bernama komet pun menjawab bahwa dia itu pencopet, bukan peminta-minta. Jawaban yang mengagetkan ini menyebabkan Muluk tidak dapat berkata-kata dan pada Muluk akhirnya melepaskan searang copet yang bernama Komet tadi, dan inilah yang menjadi awal pertemuan dan perkenalan mereka. 
Pada suatu hari dipasar, Muluk bertemu dengan pencopet yang dulu dipergokinya dipasar. Setelah terlibat percakapan, Muluk pun minta dibawa ke bos pencopet yaitu Jarot. Muluk sebagai seorang sarjana managemen menawarkan klausul kerjasama dengan Jarot dan anak buah pencopet lainnya. Muluk ingin pada suatu saat mereka berhenti menjadi pencopet dan dapat mencari nafkah dengan halal. Muluk menawarkan program pemberdayaan meliputi pendidikan dan agama serta rencana pengelolaan bisnis jangka panjang. Namun sebagai gantinya Muluk meminta jatah 10% dari pendapatan hasil copet. Jarot setuju. Tantangan datang silih berganti karena anak-anak pencopet tersebut memiliki resistensi terhadap Muluk. “Jah, ngapain gw disuruh belajar segala! Dari dulu nyopet udah enak!”, keluh Kampret, salah seorang copet. Untuk memaksimalkan program tersebut, Muluk mengajak temannya yaitu Pipit dan Samsul. Pipit merupakan anak dari Haji Rahmat yang kerjaannya setiap hari mencari peruntungan dengan mengikuti kuis-kuis di televisi. Sedangkan Samsul merupakan sarjana pendidikan yang setiap hari bermain gaplek bersama teman-temannya di pos kamling.
Adapun Samsul dan Pipit diupah dari gaji 10% hasil copetan yang didapat Muluk. Pipit dengan sabar mengajari mengaji, sholat sedangkan Samsul mengajari membaca. Lambat laun anak-anak menerima kehadiran Muluk, Pipit dan Samsul. Dan pada akhirnya Muluk dkk menyampaikan kepada anak-anak pencopet untuk berhenti mencopet dan beralih menjadi pengasong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Muluk menyediakan 6 set peralatan mengasong. Lambat laun Haji Makbul, ayah Muluk dan Haji Rahmat ayah Pipit penasaran dengan apa yang dilakukan anak-anak mereka selama ini. Alangkah terkejutnya mereka ketika ternyata selama ini uang pendapatan anak-anak mereka berasal dari hasil copet. Mereka pun menangis selama ini makanan yang mereka makan berasal dari uang haram. Akhirnya Muluk, Pipit dan Samsul menyatakan berhenti meneruskan program mereka. Anak-anak pencopet tergugah atas usaha Muluk selama ini.
Sebagian dari mereka memutuskan untuk menjadi pengasong walaupun pendapatan yang bakal mereka terima kecil. Namun tantangan terus datang menerpa. Mereka harus terus berlari dan bersembunyi dari operasi pamong praja dijalanan. Muluk yang melihat anak-anak tersebut dikejar-kejar pun marah kepada Pamong Praja.
“Lari kalian semua! Ayo tangkap saya! Tangkap saya! Saya yang menyuruh mereka mengasong! Mereka hanya mencari rezeki yang halal dan hanya itu yang mereka bisa!”.
“Ini aturan! Dilarang mengasong dijalanan!”, balas petugas.
“Kalian merasa tergangggu dengan ulah para pengemis dan pencopet tapi kalian tiadk terganggu dengan ulah para koruptor!?! Seharunya kalian tangkap para koruptor yang sudah memiskinkan negeri ini! Memiskinkan kalian! Memang itu bukan tugas kalian, tapi setidaknya kalian punya rasa belas kasihan! Mereka hanya mencari rezeki yang halal! Biarkan mereka yang miskin mencari rezeki yang halal!”
Akhirnya Muluk ditangkap petugas. Dari kejauhan, anak-anak pengasong terharu menitikkan air mata seiring dengan kepergian mobil yang membawa Muluk pergi

A.  Analisis
Ivan Illich, Kecenderungan pendidikan formal yang mengasumsikan bahwa nilai-nilai dapat dipraktikkan dan melalui pemaketan nilai itulah individu akan dicetak menjadi sesuatu. Sehingga, peserta didik hanya diminta untuk mengejar formalitas nilai tanpa mengharapkan lebih pada kualitas proses pembelajaran. Yang penting dapat nilai bagus, yang penting lulus, dan yang penting bisa dapat ijazah, itulah yang menjadi ukuran dan kepentingan pendidikan, bukan proses bagaimana mencetak siswa yang berwawasan luas dan berkepribadian baik. Kedua, Illich mengkritik pendidikan hanya sebagai ”barang dagangan”. Tidak ada sekolah yang terbuka untuk menampung semua anak usia sekolah di masyarakat. Biasanya, kelas tertindas tidak mendapat akses pendidikan karena problem administratif atau birokasi sekolah. Dan yang jelas, ini dikarenakan tiada biaya untuk sekolah. Oleh karena itu, dalam pemikiran Illich, misi lembaga pendidikan modern sebenarnya mengabdi pada kepentingan modal, bukan sarana pembebasan bagi kaum tertindas.
Piere Bourdieu, seorang sosiolog pendidikan, menyebut bahwa manusia saat ini tidak hanya melakukan kegiatan saham dalam bentuk material, tapi juga dalam bentuk symbolic capital, yaitu kapital yang bersifat simbolik tapi sarat makna dengan ragam kepentingannya. Kehidupan yang sangat aristokratis dalam relasi sosial akan sangat mudah membawa sistem pendidikan ke dalam model symbolic capital. Dengan gagasan pendidikan gratis untuk rakyat kecil, maka umumnya kaum tertindas akan bisa keluar dari kubangan dan jebakan aristokrasi pendidikan ini.
Usulan untuk membebasan biaya pendidikan dasar dan menengah terkesan masih utopis bila melihat keadaan saat ini. Apalagi itu masih masuk dalam struktur negara atau pemerintah karena aturan prosedural tidak menghendaki demikian. Langkah yang lebih memungkinkan adalah bagaimana meningkatkan subsidi pemerintah yang lebih menjanjikan bagi pendanaan pendidikan. Pendidikan gratis untuk rakyat kecil ini adalah sebuah langkah nonformal yang penting untuk digelar oleh beberapa komunitas sosial yang sangat konsern dengan dunia pendidikan saat ini.
Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita,ini berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap untuk selalu berkembang dalam pendidikan. Pendidikan secara umum mempunyai arti suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupan. Sehingga menjadi seorang yang terdidik itu sangat penting. Pendidikan pertama kali yang kita dapatkan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
1.      Pendidikan Tidak Menjamin Kesejahteraan
Buktinya, Muluk yang menyandang gelar Sarjana Manajemen (atau sarjana Ekonomi-red) mengalami kesulitan mecari kerja. Begitu juga yang dialami Syamsul yang menyandang title Sarjana Pendidikan. Sementara dua kakak Rohmah yang hanya lulusan Tsanawiyah dan Madrasah (CMIIW) sukses dengan kios dan konveksi sablonnya.
Satu realita yang kita hadapi sehari-hari. Betapa banyak sarjana yang menganggur. Sebagian yang lebih beruntuk beralih profesi. Berdagang, sopir angkutan, bahkan pemulung. Pengangguran merupakan fenomena sosial yang menjadi permasalahan di negara kita. Apakah kita harus menyalahkan lapangan kerja yang kurang, atau sistem pendidikan kita yang dibuat untuk mencetak buruh. Yang jelas pengangguran dan kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks, yang membutuhkan penanganan komprehensif.
2.      Pendidikan yang tidak membebaskan
Itulah kurikulum kita. Pendidikan yang tidak membebaskan. Dimana kita selalu diajar dengan buku dan mendengarkan kata Pak/Bu Guru. Dimana kita disajikan berbagai teori yang seringkali ga match sama realita. Dimana kita selalu dihadapkan dengan papan tulis, pinsil, buku, meja kayu, dan seragam yang kaku.
“Kalian boleh menulis dengan cara apapun, asal hasilnya menjadi huruf A.” Satu kritik  terhadap pendidikan kita yang seringkali dipenuhi kata harus. Memang lucu melihat cara2 mereka dalam menulis huruf A. namun kebebesan menentukan kemauan anak-anak untuk belajar.
3.      Koruptor: Profesi untuk yang Berpendidikan
Lagi-lagi pendidikan dikritik. Pendidikan membuat orang menjadi pintar. Bukan hanya lebih pintar dalam mengelola negara, tetapi juga lebih pintar mengeruk uang negara. Nyatanya pendidikan tidak membuat orang taat hukum. Pendidikan tidak membuat orang mampu membedakan mana uang mereka dan yang bukan. Pendidikan tidak membuat orang bisa menbedakan yang benar dan yang salah. Tanpa pendidikan orang hanya bisa jadi copet. Dengan pendidikan, orang bisa jadi koruptor.
“Kalo korupsi bisa kan bg? Kan kita sudah berpendidikan.”
4.      Legislatif:  Bukan Cerdas yang Dicari
Jupri sang calon anggota legislatif. No urut 200 sekian (lupa euy) dari Partai Asam Lambung. Semua pasti tertawa begitu melihat apa yang ia tunjukan kepada Rohmah. Gambar ikan, itu saja. Leptop itu tidak untuk mengetik visi misi,program, dan renstra. Tidak untuk menjabarkan permasalahan rakyat dan penanggulangannya. Tidak juga berisikan data-data kebutuhan rakyat yang akan menjadi knstituennya.
Mungkin adegan ini mengingatkan kita pada satu peristiwa. Ketika anggota DPR menuntut untuk dibelikan leptop, dan kita pun bertanya-tanya. “Apa mereka semua bisa menggunakannya?”
5.       Indonesia Belum Merdeka
Lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Cermatilah kata per kata lagu kebangsaan kita tercinta. Sungguh indah bukan? Sayangnya Indonesia Raya masih menjadi doa. Indonesia Raya belum menjadi nyata. “Amiiiiinnnn” pun menjadi kalimat yang paling cocok tuk diucapkan selesai menyanyikan Indonesia Raya.
6.      Pedagang Asongan vs Koruptor
Pedagang Asongan diburu Sat Pol PP. Sementara koruptor dibiarkan bebas begitu saja. Kenapa? Karena koruptor tidak mengganggu jalan. Karena itu, daripada mengganggu jalan dengan berdagang asongan, lebih baik merusak jalan, dengan mengkorup dana pembangunan jalan tersebut sehingga pembangunannya tidak maksimal.

Penulis :
Yoshua Abib Mula Sinurat
Kabid PKK GMKI Purwokerto 2014-2015

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”.
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945


1 komentar:

  1. Pendidikan negara kapitalis memang takkan pernah mengingkari logika kapitalisme itu sendiri. Persaingan, akumulasi modal dan penghisaban nilai lebih inilah yang secara tumpuk menumpuk menghasilkan kontradiksi pendidikan yang kita saksikan hari ini. Pendidikan akan sedaya upaya menciptakan buruh KECUALI kesadarannya sebagai kelas buruh, yaitu satu-satunya kelas yang dengan kerja, kerja dan kerja menghasilkan kekayaan dan peradaban tanpa akses kepemilikan thp alat2 produksi.

    Alih-alih menyejahterakan manusia, pendidikan malah tampil sebagai pemecah kesadaran revolusioner kaum buruh dan menggantikannya dgn ilusi-ilusi khas borjuasi. Toh, kita tidak heran pendidikan yang semakin canggih kelihatannya serta mahal pada hari ini pada saat yang sama menghasilkan pula segala persoalan kemiskinan, ketidak-adilan peperangan dan pengangguran dimana-mana. Dlm hal ini, persoalan utama kita bukanlah pendidikan itu sendiri, melainkan sistem yang menyelenggarakannya..

    BalasHapus