Lahan di bakar, Hutan di Balak Liar

Hutan dan lahan bergantung pada keterikatan, kepemilikan dan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Pengetehauan tradisional mengenai lingkungan biofisik lokal dan penggunaan atau pemanfaatan api, tidak kalah penting adalah tiadanya konflik atas lahan.

Ilustrator : Doc. GMKI Purwokerto
Saat ini 80% pulau sumatera tertutup asap, tercatat 12.600 orang terserang ISPA. Kota Pekanbaru menjadi Kota yang BERBAHAYA untuk hidup, anak sekolah diliburkan. Rakyat menderita karena bencana tahunan ini. Harapan untuk hidup lebih sehat dan baik terabaikan.

Kebakaran hutan lahan, atau pembakaran hutan lahan, menjadi salah satu isu lingkungan yang cukup serius hari ini. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia terbilang lelet dalam penangannya, hingga oktober 2015, sudah mencapai perhitungan 5 bulan sejak bulan Maret silam.
Kebakaran hutan atau pembakaran hutan ini terjadi tentulah bukan sekedar disebabkan oleh alam atau akibat membakar sampah lalu merembet melus, yang boleh jadi ada yang menduganya seperti itu. Tetapi sudah jadi rahasia umum pula bahwa yang menjadi penyebab parahnya kebakaran hutan di Sumatera maupun di Kalimantan adalah akibat adanya pembukaan lahan oleh perusahaan-perusahaan besar.

Kegiatan manusia, seperti pembukaan hutan dan drainase untuk pertanian – khususnya untuk perkebunan kelapa sawit, telah menyebabkan kerusakan parah pada lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan. Alih-alih menyimpan karbon, lahan gambut yang rusak tersebut justru menjadi sumber emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang sangat besar.

Hari ini

Indonesia memiliki luas lahan gambut terbesar ke 4 sedunia. Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut sekitar 7,2 jutahektar atau 35%-nya terdapat di Pulau Sumatera. Lahan rawa gambut merupakan bagian dari sumberdaya alam yang mempunyai fungsi untuk pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, pendukung berbagai kehidupan / keanekaragaman hayati, pengendali iklim (melalui kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon) dan sebagainya. 
Dan kebakaran lahan kali ini pun kemudian disebut sebagai salah satu yang terburuk dan terlama sepanjang sejarah karena El Nino. Musim kemarau yang berlangsung lebih lama daripada seharusnya menjadi penghambat dalam upaya penanggulangan kebakaran hutan. Malaysia, Singapura, dan Negara-negara tentanggga yang terkena dampak telah mengalami penderitaan selama berminggu-minggu karena gangguan asap akibat pembakaran hutan dan lahan ilegal.
Pembakaran hutan di Indonesia sudah mencapai tahap kritis. Upaya penanggulangan dan pencegahan pembakaran hutan membutuhkan skema kebijakan holistik dan inklusif.

Negara Lebih Siap Berkonflik Atas Lahan Lokal Ketimbang Korporasi

Seperti di lead tulisan ini, permasalahan pembakaran hutan menyoal kepada keterikatan. Hutan dan lahan hutan bergantung pada keterikatan, kepemilikan dan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Pengetehauan tradisional mengenai lingkungan biofisik lokal dan penggunaan atau pemanfaatan api, tidak kalah penting adalah tiadanya konflik atas lahan.
Jangan ragukan masyarakat agar bisa secara aktif dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Negara seharusnya memberi pemberdayaan ekonomi rakyat. Masyarakat diberikan kesempatan menjadi pelaku utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan akses dan kontrol yang leluasa terhadap sumberdaya alam.
Namun, sejauh ini pendekatan yang telah dilakukan adalah menciptakan metode penyiapan lahan baru tanpa bakar yang lebih murah, mudah, dan cepat (efisien). Sebagai contoh, mengembangkan sistem wanatani (agroforestry) bagi masyarakat sebagai salah satu alternatif penggunaan lahan yang berkelanjutan untuk perladangan berpindah. Negara mengabaikan kepentingan rakyat, keberhasilan keterlibatan masyarakat dalam manajemen kebakaran hutan tergantung keterikatan, kepemilikan dan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan.

                 The Power Of  Blusukan, Negara lemah Risk Management

Beberapa bulan terakhir, media sering menangkap aksi blusukan Presiden. Berjalan sendiri ditengah lahan terbakar, mengamati dan sedikit memberi wejangan. “The Power Of Blusukan” ini kemudian sering menjadi bahasan menggelitik. Sebab konflik atas lahan yang berujung pada masalah asap ini berbicara soal ketegasan dalam Risk Management.  Pemerintah perlu menindak tegas bagi siapa saja yang terbukti sengaja membakar hutan, menangkap pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab merusak lingkungan untuk kepentingan korporasi, dan bekerja sama dengan badan-badan non-pemerintah dalam menegakkan kedisiplinan dan pelestarian lingkungan. Selain itu, kita tentu tidak ingin membiarkan hutan dibiarkan dibakar begitu saja.

Fondasi risk management kebakaran hutan, diarahkan agar lebih fokus pada upaya agar tidak terjadi kebakaran hutan, antisipasi dini. Dengan adanya pelaksana tugas dan wewenang tersebut, tidak perlu lagi presiden datang ke lokasi kebakaran seperti yang terjadi saat ini, karena membahayakan kesehatan presiden dan menganggu pekerjaan besar lainnya untuk kepentingan negeri ini.
Kita mengingat era Gusdur, hanya satu pejabat negara setingkat menteri yang komit menetapkan salah satu objektif tugas utamanya, yaitu, memastikan bahwa tidak ada lagi kebakaran hutan. Menteri tersebut adalah Bapak Marzuki Usman, Menteri Kehutanan pada saat Bapak Abdurrachman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden.  Setelah itu, tidak ada lagi terdengar seruan yang sama, sekalipun tiap tahun terjadi kebakaran hutan. Negara yang terbangungjawab terhadap risk management kebakaran hutan hari ini hanya bergantung dari the Power Of Blusukan. Seidealnya, menteri yang bertanggungjawab untuk tugas ini, dan bertanggungjawab penuh secara langsung kepada presiden.
Jelas hierarki pelaksana,  mulai dari menko, gubernur, walikota/bupati, camat, lurah/kepala desa, sampai kepada rakyat yang berdomisili di wilayah hutan, dan pengusaha yang mengelola tanah, serta kaitannya dengan lembaga pemerintah lainnya, diarahkan agar lebih fokus pada upaya agar tidak terjadi kebakaran hutan, antisipasi dini. Dengan adanya pelaksana tugas dan wewenang tersebut, tidak perlu lagi presiden datang ke lokasi kebakaran seperti yang terjadi saat ini,  karena membahayakan kesehatan presiden dan menganggu pekerjaan besar lainnya untuk kepentingan negeri ini.
  Pemasangan Pendeteksi Asap

Kita tahu bahwa luas lahan rawa gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia. Dan Indonesia adalah Negara ke empat yang memiliki lahan gambut terluas di dunia, Potensi untuk terjadinya kebakaran hutan sulit untuk di selesaikan.
Seperti halnya di Jerman, sistem pengawasan modern "Fire Watch" yang bekerja secara otomatis dengan bantuan sensor optik & software otomatis mulai dipasang. Alat ini bisa mendeteksi asap yang masih dalam tahap stadium awal sebelum menjelma menjadi kobaran api & juga memeriksa ulang wilayah hutan melalui puncak pohon & mencatat setiap bentuk asap.
Dan juga perlu adanya sistem penginderaan jarak jauh, catatan hujan dan data lain untuk menunjukkan bahwa kebakaran – sengaja dilakukan ketika membersihkan lahan untuk pertanian – terutama terjadi pada lahan gambut kering dan rusak, tidak pada hutan seperti yang awalnya diduga, dan hal ini dimungkinkan terjadi dalam periode pendek musim kemarau.

Penyebab kebakaran di Indonsesia sudah banyak dikaji oleh para peneliti berbagai belahan dunia. Semua berkesimpulan bahwa aktivitas manusialah sebagai penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Aktivitas manusia yang berkaitan dengan pengelolaan lahan masih menjadikan api sebagai alat yang murah, mudah dan cepat menjadi inti dari penyebab kebakaran.
            Motif pembakaran sangat beragam dan berbeda antar wilayah. Ada yang terkait dengan penguasaan lahan pada lahan yang tidak terkelola, konversi lahan ke perkebunan, konflik lahan masyarakat dan perusahaan, pembersihan lahan untuk jual beli lahan, kelalaian (merokok, memancing, bekerja dalam hutan), dll.  Tak kalah berkontribusi besar dalam kebakaran adalah kebijakan dan aturan yang masih tidak konsisten dijalankan bahkan ada aturan yang bisa mendorong aktivitas pembakaran lahan semakin mendapat angin segar.
Asap tahun 2015 ini adalah tahun peringatan keras terakhir bagi kita tentang potret pengelolaan lingkungan yang buruk. Semoga tahun berikutnya kita tersadar dan melakukan perbaikan-perbaikan yang progresif untuk melindungi warga dari ancaman bencana, kematian dan masa depan yang suram akibat makin rusaknya lingkungan.T
Tahun 2015 ini adalah tahun peringatan keras terakhir bagi kita tentang potret pengelolaan lingkungan yang buruk. Semoga tahun berikutnya kita tersadar dan melakukan perbaikan-perbaikan yang progresif untuk melindungi warga dari ancaman bencana, kematian dan masa depan yang suram akibat makin rusaknya lingkungan. Asap bicara pada manusia tentang tradisi sudah abai dengan kearifan lokal, ssap menampar para pejabat yang pernah bersesumbar bisa mengendalikan kebakaran di daerahnya dan asap juga membuat sesak dada masyarakat yang mulai tak saling peduli dengan aktifitas sesama mereka.

Penulis
Yoshua Abib Mula Sinurat
Kepala Bidang PKK GMKI Purwokerto 2014-2015
Mahasiswa FISIP Unsoed

Comments
0 Comments

0 komentar: