Kesejahteraan BMI: Setumpuk Pekerjaan Rumah Pemerintah

(Kajian Buruh Migran Perempuan Jelang Kampanye Mayday Cipayung Plus)

1 Mei 2015

Hari Buruh Internasional diperingati setiap 1 Mei, dan pada tahun 2015 ini bertepatan dengan 7 bulan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). PERINGATAN Hari Buruh Internasional, yang jatuh pada setiap tanggal 1 Mei, yang sering disebut mayday tahun ini unik karena dirayakan ditengah banyaknya kesulitan dari berbagai persoalan yang membelit kehidupan kenegaraan. Ditambah lagi persoalan yang dihadapi para pekerja Indonesia di luar negeri khususnya untuk konteks BMI atau Buruh Migran Indonesia didahului dengan pemaparan senarai panjang kisah duka seputar para TKI dan TKW kita, sebagaimana pernah dilansir media massa nasional hampir secara beruntun beberapa waktu lalu.
Mulai dari persoalan kesalahan prosedural seputar pemberangkatan tenaga kerja ke luar negeri sampai pada persoalan yang lebih substansial terkait tindak kekerasan yang menjadikan para TKI dan TKW kita sebagai korbannya.  Hingga Isu terhangat tentang BM Perempuan asal Filipina Mary Jane dan tahun silam juga dihebohkan dengan Isu Satinah. Dua tokoh yang menggambarkan 278 Buruh Migran kita yang akan dieksekusi Mati.
Sekadar menyegarkan ingatan, Marsinah adalah buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo. Ia menggalang demo menuntut kenaikan upah. Marsinah menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250. Demi tuntutan itu, pada 4 Mei 1993. Marsinah pantas diberi gelar pahlawan, terlebih karena keberaniannya berunjuk rasa memperjuangkan kenaikan upah di era ketika rezim Soeharto melarang segala bentuk unjuk rasa.
Setiap bentuk unjuk rasa dianggap melawan rezim. Dan tentu bagi kaum buruh, posisi Marsinah tetaplah istimewa karena dia menjadi simbol dari keberanian di tengah penindasan. Semangat Marsinah jelas masih relevan ketika buruh di zaman ini, setelah 16 tahun reformasi, tak kunjung membaik.
Masih banyak soal yang menyandera dan membelenggu mereka sehingga kaum buruh tidak bahagia, mulai dari upah yang masih di bawah standar UMK karena banyaknya pengusaha yang meminta penundaan hingga kondisi kerja yang membahayakan. Naiknya kapitalisme setelah ambruknya komunisme di Uni Soviet mendorong kaum kapitalis atau pemilik modal berinvestasi dan berjaya di seluruh dunia, termasuk di negeri kita.
Bagi mereka, uang jauh lebih penting daripada martabat orang. Dalam situasi seperti ini, selain butuh semangat keberanian seperti dimiliki Marsinah, kaum buruh juga perlu menimba inspirasi dari Gustavo Gutierrez, OP. Pastor Dominikan kelahiran Peru 8 Juni 1928 ini dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan teologi pembebasan. Menurut Gutierrez, ”pembebasan” sejati mempunyai tiga dimensi utama.
Pertama, mencakup pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan. Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marginal. Mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari ”segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat”.
Ketiga, teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan orang lain. Teologi pembebasan selalu memperjuangkan nasib kaum miskin atau tertindas yang berada di dalam struktur tidak adil karena ketidakadilan yang terstruktur menyebabkan buruh lemah, selalu dieksploitasi, dan menjadi korban (A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation,tr. and rev. Maryknoll: Orbis, 1998, hlm 63f.).
Gutierrez bersuara lantang terhadap kaum miskin yang tertindas di Amerika Latin. Kini, uruh memerlukan teologi pembebasan karena mayoritas masih berada dalam belenggu ketertindasan. Mereka masih jauh dari merdeka: dari kemiskinan dan ketidakadilan. Tapi bagaimana membebaskan kaum buruh?
Apakah lewat jalan kekerasan saja seperti demo-demo para buruh yang anarkistis? Teologi pembebasan yang digagas Gustavo Gutierrez sering disalah-mengerti sebagai pemberi inspirasi untuk melegitimasi kekerasan.  Guiterrez menegaskan keberpihakan teologi pembebasan pada kaum tertindas harus tetap menolak segala inisiatif yang termanifestasi dalam kekerasan, sebab kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan yang lain.
Pembebasan dalam teologi adalah lewat proses penyadaran. Maka itu, unjuk rasa yang dilakukan ratusan ribu buruh di Tanah Air dalam rangka Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei 2015 tidak boleh jatuh dalam tindak kekerasan. Setiap kekerasan hanya akan menjebak buruh di dalam lingkaran kekerasan baru yang lebih rumit.
Akibatnya, tujuan utama untuk memperjuangkan hak-hak kaum buruh justru terlupakan. Pada May Day tahun ini buruh memiliki 10 tuntutan secara nasional yang tampaknya sesuai dengan apa yang diperjuangkan Marsinah dan teologi pembebasan.
Tuntutan yang diusung buruh jelas akan lebih mudah diakomodasi bila terjalin relasi yang lebih manusiawi dan saling menghargai antara buruh dan pengusaha. Bukan relasi yang hendak saling meniadakan seperti ketika rezim Orba meniadakan Marsinah.
Secara umum, sejumlah kasus yang menimpa buruh perempuan dirangkum KAP dalam Catatan Hitam Buruh Perempuan, antara lain:
1. Persoalan serius banyak menimpa para buruh migran di luar negeri. Kinjera Pemerintah Indonesia yang buruk dalam memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), mengakibatkan banyak buruh migran perempuan di luar negeri yang ketika berkasus harus dihukum mati. Sejak tahun 2012 hingga sekarang, terdapat 420 buruh migran yang terancam hukuman mati.
2. Terganjalnya Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 menunjukkan pemerintah kurang komitmennya terhadap perlindungan PRT di Indonesia dan yang bekerja di luar negeri.
3. Perempuan petani yang terancam kehilangan lahan produktifnya karena keberadaan pertambangan yang merusak lingkungan.
4. Buruh perempuan di pabrik yang banyak mendapatkan pelecehan seksual ketika bekerja. Mereka juga mengalami hambatan dalam berorganisasi karena mengalami tekanan dan intimidasi ketika menjadi pengurus serikat buruh.
5. Buruh perempuan di media yang harus berjuang keras menegakkan etika dan independensi di ruang redaksi karena sejumlah media yang digunakan pemiliknya untuk berpolitik. Hal lain, adanya stereotype yang terjadi di media berakibat pada diskriminasi terhadap perempuan.

Melalui aspirasi kaum buruh pada hari yang sangat bersejarah ini (Hari Buruh Internasional) harapannya dapat terwujudnya Upah Minimum Pekerja yang sesuai dengan standar kebutuhan yang layak (mampu merubah nasip kaum buruh), semakin kuat terjaminnya perlindungan kepada kaum buruh baik dalam negeri maupun luar negeri serta kebijkan-kebijakan yang pro terhadap buruh harus menjadi prioritas utama, karena itu menjadi bagian dari kewajiban negara dalam memberikan kesejahteraan terhadap warganya. Jadi, Pemerintah juga harus mampu merealisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam sila ke lima yaitu “Kesejahteraan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” salah satunya yaitu dengan menciptakan hubungan industrial yang sebagaimana mestinya sehingga tercapailah iklim yang baik antara pemilk modal dan tenaga kerja (buruh).
Namun, harapan masyarakat Indonesia sendiri, hari yang sangat bersejarah tersebut jangan sampai menjadi hari yang rusuh karena aksi demonstrasi yang tak terkendali dari pihak demonstran itu sendiri. Hari tersebut harus menjadi hari yang bersih, tertib, dan aman agar dapat menjaga dan mengontrol sikap para demonstran yaitu buruh itu sendiri. Karena dari peringatan hari buruh tahun sebelumnya itu juga para buruh yang melakukan aksi demontrasi sering dinilai kurang bisa menjaga sikap dan terbilang sangat frontal, apatis, dan tidak terkontrol.


Comments
0 Comments

0 komentar: